TANAMAN NIAGA DI BORNEO BARAT PADA AWAL ABAD KE-20 (STUDI TENTANG KARET DAN KELAPA)

Iklim pulau Borneo sangat baik untuk beberapa tanaman keras, salah satunya karet dan kelapa. Borneo Barat merupakan daerah yang dikelilingi oleh sungai-sungai besar dan berawa sehingga cocok juga untuk ditumbuhi tanaman kelapa yang merupakan tanaman yang sangat membutuhkan air dalam perkembangannya. Pada awal abad ke-19 di Borneo Barat sistem pelayaran dan perdagangan sudah berjalan seperti di Eropa dan Asia Tengah. Perdagangan didominasi oleh daerah pesisir diantaranya Pontianak, Mempawah, Singkawang, Pemangkat dan Sambas. Budidaya karet di Borneo Barat pada awal abad ke-20 menunjukkan bahwa penduduk mengelola dengan teknik budidaya sederhana berupa pemupukan sesuai kemampuan petani. Sebaliknya, perkebunan besar dikelola dengan teknik budidaya yang lebih maju dan intensif dalam bentuk perkebunan monokultur untuk memaksimalkan hasil kebun. Jaringan perdagangan karet maupun kelapa terlihat hampir sama yaitu produsen, pedagang kecil, pedagang perantara dan eksportir. Sedangkan budidaya kelapa lebih dikuasai oleh pribumi baik dalam skala besar maupun kecil. Dalam jaringan perdagangan kelapa, pedagang kecil berperan sebagai pengumpul sekaligus pemilik rumah pengeringan kopra. Namun perlu menjadi catatan bahwa pengeringan kopra tidak hanya dilakukan oleh pedangan kecil/pembeli pertama, namun juga oleh pemilik kebun bahkan pedagang perantara. Di beberapa wilayah, peran pedagang perantara dapat juga dilakukan oleh pedagang kecil. Sistem kontrak dengan pemberian kredit pada para pemilik kebun terjadi perdagangan karet dan kelapa.

Translate

The climate of the island of Borneo was very good for several tree crops, one of which was rubber and coconut. West Borneo was an area surrounded by large and swampy rivers so it was also suitable for growing coconut plants which were plants that need water in their development. At the beginning of the 19th century in West Borneo the shipping and trading system was already operating as in Europe and Central Asia. Trade was dominated by coastal areas including Pontianak, Mempawah, Singkawang, Pemangkat and Sambas. Rubber cultivation in West Borneo in the early 20th century showed that the population managed with simple cultivation techniques in the form of fertilization according to the ability of farmers. Conversely, large plantations were managed with more advanced and intensive cultivation techniques in the form of monoculture plantations to maximize garden yields. The rubber and coconut trading networks looked almost the same, namely producers, small traders, intermediary traders and exporters. While coconut cultivation was more controlled by natives both large and small scale. In the coconut trading network, small traders acted as collectors and owners of copra drying houses. However, it should be noted that copra drying was not only done by small traders / first-time buyers, but also by garden owners and even intermediary traders. In some areas, the role of intermediary traders could also be carried out by small traders. The contract system with the provision of credit to the owners of the plantation occurred rubber and coconut trading.