PUSPA DEWI, SRI SUGIYANTI, JUDI WAHJUDIN, HADNIWATI HASIBUAN, ERNAWATI
PEMBINAAN PENINGGALAN SEJARAH DAN KEPURBAKALAAN
1999/2000
ARS - 726.1 (720-729)
-
Pada mulanya kelenteng-kelenteng yang didirikan oleh masyarakat Cina lebih menitikberatkan kepada ajaran Konghuchu daripada kedua aliran agama lainnya (Budha dan Tao). Namun setelah peristiwa tahun 1965 sifat kelenteng lebih ditekankan pada unsur Budhis nya. Hal ini juga ditandai dengan perubahan istilah “kelenteng” menjadi “vihara”. Karena itu, jenis kelenteng di Indonesia termasuk di DKI dan Jawa Barat adalah kelenteng yang menggabungkan ketiga ajaran yang dikenal masyarakat Cina yaitu Buddha, Tao, dan Konghuchu. Sebagai bangunan peribadatan masyarakat Cina, kelenteng-kelenteng yang terdapat di Jakarta dan Jawa Barat pun pada umumnya banyak mengambil model arsitektur Cina dengan motif dekorasi mewah, namun ada pula yang bentuknya sangat sederhana, polos, dan tanpa hiasan. Ada beberapa yang menarik dalam tulisan ini diantaranya fengsui (sistem kepercayaan masyarakat Cina yang mengatur tentang tata letak yang baik suatu bangunan yang bercirikan dari arah hadap bangunan); Sistem konsruksi umumnya masih mengacu kepada bentuk atap arsitektur Cina yaitu atap jurai (pitched roof/wu tian), pelana (cable roof/ngang shan), gabungan jurai dan pelana (halp-pitched and half gabled) dan ada juga kelenteng yang tidak menggunakan konstruksi atap bangunan Cina, namun ciri khas bentuk atapnya hanya terdapat pada atap pintu gerbangnya saja. Keberadaan kelenteng-kelenteng kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat dapat memperkaya khasanah tinggalan budaya Indonesia, dan juga termasuk aset budaya yang dilindungi oleh UU Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.