AJU
YAYASAN JAWA KANUNG
2017
ARS - 902 (900-909)
978-602-741961-2
Tragedi kemanusiaan berupa pengusiran dan pembunuhan Etnis Tionghoa di pedalaman dan perbatasan Provinsi Kalimantan Barat tahun 1967 dengan memperalat Suku Dayak, bagian tidak terpisahkan dari kebijakan Negara dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kerusuhan dipicu dari penderitaan Kodam XII/Tanjungpura selaku Penguasa Pelaksana Perang Daerah (Peperalda) di Stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) Regional Pontianak. Pemberitaan mencatut nama Johanes Chrisosiomus Oevaang Oeray, seorang tokoh Suku Dayak dan mantan Gubernur Kalimantan Barat tahun 1960 - 1966 yang menyatakan perang terhadap Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS). PGRS merupakan personal paramiliter yang didirikan TNI untuk berkonfrontasi dengan Kerajaan Inggris, sebagai bentuk protes Presiden Soekarno atas bergabungnya Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sarawak di Kalimantan ke dalam Federal Malaysia. Pergantian kepemimpinan nasional dari Soekarno kepada Soeharto pada tanggal 1 Juli 1966 PGRS akhirnya ditumpas secara militer karena sebagian besar tidak mau menyerahkan diri pasca penandatanganan rujuk RI – Federasi Malaysia pada 11 Agustus 1966. Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan pertama kali setelah dikukuhkan menjadi presiden menggantikan Soekarno pada tanggal 16 Agustus 1968 malam, secara khusus menyampaikan ucapan terima kasih kepada Suku Dayak yang telah membantu Pemerintah dan ANgkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam menumpas PGRS. Kerusuhan pada tahun 1967 merupakan peristiwa yang dikenal dengan istilah Mangkok Merah. Peristiwa Mangkok Merah ini merupakan salah satu tragedi kemanusiaan yang paling memilukan dalam sejarah masyarakat Kalimantan Barat.